jump to navigation

ONLY HEAVEN KNOWS Februari 24, 2016

Posted by liyak in agak fiktif.
Tags: , , , ,
add a comment

Iya , saya masih punya utang untuk menyelesaikan cerpen saya terdahulu yang meskipun ide sudah ada, sudah tamat di pikiran saya, tapi belum bisa saya ungkapkan secara sistematis dan romantis.

 

Sambilan nunggu epilognya, saya bagi dulu cerpen yang saya tulis sebelum tahun 2004, tapi saya lupa tepatnya kapan. Sebuah cerpen, yang nggak saya sangka akan tetep up to date dengan keadaan sekarang.

Selamat menikmati 🙂

 

ONLY HEAVEN KNOWS

            Aku masih menatapnya dengan kekaguman yang dengan rapat kusembunyikan di balik retina. Dia , seperti biasa, bercerita dengan penuh semangat dan mata berbinar. Kali ini ceritanya adalah tentang liburannya ke Yogya, tempat eyangnya.

“ Kamu sih, aku ajak nggak mau. Rame lagi. Sepupu-sepupuku ngumpul trus kita jalan bareng” celotehnya.

“Ya nggak enak dong Rin” jawabku.

“Pokoknya ntar kamu ke rumahku. Ada oleh-oleh buat Mamamu. Gede banget, jadi aku gak bisa bawa”

“Kok Cuma Mama yang dioleh-olehin? Aku gimana?”

“Lho? Pas aku nanya pengen dioleh-olehin apa, kamu bilang asal aku pulang dengan tetep cantik,kamu udah seneng. So here I am” kalo gak inget ini di kelas, udah kucium dia habis-habisan karena gemas (well, aku ragu sih bahwa aku akan segila itu meskipun ini nggak  lagi di kelas).

“”Ya tapi gadis cantik dengan sekeranjang oleh-oleh tentu menyenangkan”

“Terima kasih. Aku memang cantik dan aku bahkan membawa lebih dari sekeranjang oleh-oleh, tapi nggak ada yang buat kamu” dia tertawa.

“Rin!” pekikku sebal.

“Anterin ke kelas Rian dong Jay” katanya setelah reda tawanya. Cresss! Ada sembilu menyayat tepat di bilik kiri jantungku, mati-matian aku meredam darahnya mengalir ke wajahku.

“Mau ngapain?” tanyaku biasa, tepatnya berusaha sebiasa mungkin. Dia tersipu.

“ Masih inget nggak surat yang dikasih Rian ke aku sebelum liburan? Katanya malu-malu. Kali ini bukan hanya sembilu, melainkan ditambah paku, seribu.

“Kamu nerima dia ya Rin?” darah berhenti di lidahku, kelu, dan aku terlambat menyesali bahkan menyadari ucapanku. Rin menatapku curiga. Dia mencondongkan tubuhnya padaku.

“Sounds like a disagreement. What’s wrong Jay? “

“Siapa bilang!” sergahku, menutupi apa yang baru saja hampir atau sudah meski sedikit terbuka.

Masih terpampang jelas di ingatanku saat Rin begitu senang menerima surat itu, dan sialnya bahkan aku masih ingat persis semua kata-katanya.

Kepada Yth.

            Arina Kusuma Ningtyas

            Di tempat.

 

            Dengan hormat.

            Bersama surat ini , saya :

                        Nama   :  Febrian Putra Santoso

                        TTL     :  Semarang, 10 Desember  1987

                        Alamat  :  Erlangga V / 07 Semarang

                        Sekolah:   SMA 1 Semarang , Kelas 2 IPA 1

            bermaksud mengajukan lamaran untuk menjadi pacar saudari.

            Sebagai bahan pertimbangan, berikut ini saya lampirkan :

                        1 lembar foto berwarna  ukuran 3R.

                        1 lembar fotokopi nilai rapor  kelas 1.

            Besar harapan saya agar dapat diterima dengan suka cita.

            Demikian surat ini saya buat tulus dari lubuk hati terdalam. Terima Kasih.

                                                                         

                                                                        Semarang, 5 Mei 2004

                                                                        Hormat saya,

 

                                                                        Febrian PS

 

            Surat nyleneh itu berhasil membuat Rin berulang kali membacanya, yang mengesalkan, dia membacanya di depanku dengan berbagai pujian tentang gantengnya Rian, tentang pinternya Rian, lucunya Rian dan ini dan itu blab la bla. Hah! Sudah gila si Rin. Bagiku Rian tetep aja konyol, bahkan namanya saja sudah merupakan kekonyolan, kenapa namanya Febrian padahal lahirnya bulan Desember?

Dan ajaibnya, aku tetap saja mengawal Rin ke kelas Rian, mengantarkan surat balasannya. Entah apa alasan mereka memilih surat daripada sms, padahal keduanya punya hape.

Setelah hari itu, dunia tak lagi sama buat aku. Waktu istirahat tidak lagi begitu kutunggu-tunggu. Lalu aku mulai mencari alasan agar tidak menghabiskan istirahat bertiga dengannya dan Rian. Lapangan basket  jadi pelarianku. Bergabung dengan anak-anak lain yang mencintai keringat. Di sana aku jadi kenal beberapa anak yang selama ini nggak kutau namanya, salah satunya Oliv,teman sekelas Rian yang putihnya bertentangan dengan hobinya panas-panas maen basket. Seneng aja liat sosok semampainya saat mendrible bola.

“Untung Rian jadian sama sohibmu ya Jay, jadi kamu bisa nemuin bakat terpendammu maen basket hahahha” guraunya Oliv suatu ketika. Untung mbahmu, rutukku dalam hati.

Sebenernya Rin nggak berubah, dia tetap baik dan mendahulukan aku daripada Rian. Dia bukan jenis orang dengan gaya pacaran show off kemana-mana berdua.  Rin tetap berlaku manis padaku, tapi kenyataan dia kini punya pacar , membuatku tak sempurna merasakan manisnya. Seperti menyesap madu yang tertetesi air buah mengkudu.

“Kamu marah sama aku ya Jay? Tanya Rin siang itu ketika untuk kesekian kalinya aku menolak ajakannya ke kantin.

“Kalo aku marah ke kamu, aku gak mau sebangku dan ngomong ama kamu lagi” diplomasiku.

“Bener nih?” dia menelengkan kepala sambil membelalakkan mata. Ingin kucongkel saja mata indahnya itu (bukan salahku lahir jauh setelah Iwan Fals lahir. Coba duluan aku, tentu aku duluan yang bilang begitu).

“Bener. Aku Cuma lagi bosen makan” bohongku habis-habisan.

“Ya udah deh. Aku pergi dulu ya” dia meninggalkanku setelah aku bilang oke. Ah, Rin… Andai saja aku bisa mengungkapkan perasaanku padamu tanpa peduli akibatnya. Aku terlalu sayang pada persahabatan ini. Selain itu, ada hal lain yang lebih dari persahabatan yang membuatku berteguh hati untuk membiarkan rasa ini tak terungkap.

Tapi tak selamanya aku bisa mencari alasan. Siang itu hujan, aku jadi nggak bisa maen basket, dan karenanya aku nggak punya alasan untuk menghindari ajakan Rin. Dia menyeretku begitu saja, tak peduli jantungku hampir meledak saat kulit tangannya yang selembut es krim menyentuh kulitku.

“Kamu nggak bisa nggak jajan ya Rin? “

“Iya. Dan hari ini aku pengen traktir kamu”

“Emang kamu ulang taun?”

“Basi ah”

“Lho? Gak nyamperin Rian dulu nih?” tanyaku heran ketika Rin nggak belok dulu ke kelas Rian. Rin tersenyum penuh rahasia. Dan jawabannya : Rian udah nunggu di kantin, duduk manis sama Oliv. Aku lega dan tidak terlalu kikuk. Untuk pertama kalinya, makan bersama Rin dan Rian tak terlalu membuatku tertekan. Aku asik ngobrol sama Oliv. Hanya saja aku ngerasa Oliv rada aneh, seperti ada isi buah kedondong yang nyangkut di tenggorokannya tiap kali ngomong sama aku, dan pipinya memerah. Kenapa sih ni anak?

“Kamu sakit, Liv?” tanyaku kuatir.

“Iya tuh. Udah semingguan ini Oliv demam” sahut Rian.

“Masa? Kemaren maen basket seger-seger aja kok” sanggahku nggak percaya.

“Kamu sih Jay, nggak peka” kali ini Rin yang bicara. Aku hanya angkat bahu, tapi dalam hati aku tau ada yang nggak beres dengan acara makan siang berempat ini.

Seminggu kemudian firasatku terbukti. Oliv nembak aku, dan aku terlalu shock untuk bicara.

“Kamu nggak harus jawab sekarang” katanya kemudian. Bahkan sampai dia pergi , aku masih sulit mencerna apa yang baru saja terjadi. Dalam hatiku, kuakui kebijaksanaan Rian yang nembak Rin lewat surat konyolnya. Mungkin dia mempertimbangkan akibat tembakan langsung yang daya kejutnya dahsyat, dan dia tak mau Rin mengalami apa yang aku alami sekarang.

Oliv. Aku mengeja namanya dalam hatii. Mau tak mau, aku membandingkannya dengan Rin. Jelas mereka berbeda 180 derajat . Rin   lembut, kasar, lucu, konyol, menggemaskan, menjengkelkan, impulsif, predictable, pokoknya sifatnya lengkap dan campur-campur. Dia sudah menjadi standar kekasih yang kuinginkan. Dan standar itu tentu saja nggak bisa dipenuhi Oliv! Bagaimana mungkin Oliv mengira aku akan mau jadi pacarnya? Dia bahkan 20 cm lebih tinggi dari aku. Nggak masuk akal!

Malamnya, aku ke rumah Rin. Setelah kupikir-pikir, aku harus tau pendapatnya sebelum menerima atau menolak Oliv. Sebenarnya ini pilihan sulit., maksudku tentang pergi ke rumah Rin. Sebab sejak Rin pacaran dengan Rian, aku sudah memutuskan untuk tidak ke rumah Rin kecuali Rin yang minta. Aku terlalu pengecut untuk mau bersakit hati kalau-kalau disana ada Rian. Tapi malam itu, ada atau tiada Rian, aku harus ketemu dan bicara sama Rin. Untunglah, ketika aku sampai disana, Rin sedang nonton tivi, tanpa Rian. Begitu aku bilang mau ngomong penting, Rin langsung menyeretku ke kamarnya. Mendadak aku gemetar.

“Di gazebo aja Rin, aku butuh udara segar” pintaku. Sejak sadar aku jatuh cinta padanya, aku nggak mau masuk kamarnya kalo maen ke rumahnya. Aku jadi cemburu sendiri memikirkan bahwa sekarang Rian ada di kamar Rin, meskipun cuma fotonya.

“Oke Jay, speak up” ceplos Rin begitu kami duduk di gazebo.

“Ah,kamu Rin! Aku jadi grogi nih! Kayak ngadepin interogator aja” dia terkekeh. Berhubung basa-basi bukan nama tengahku, maka aku hanya mengeluarkan pertanyaan singkat,padat,berat (yang terakhir ini hanya biar serasi aja).

“Enaknya aku nerima atau nolak Oliv?”

“You what?” dia melotot “Jay! Kamu sadar gak sih? Oliv gitu loh! Masa ditolak? Gila kali! Dia tuh naksir kamu udah lama Jay, tapi gak berani bilang karena takut kamu tolak”

“Brarti sekarang dia pikir aku gak akan nolak? Kepedean tuh anak” sungutku benar-benar merasa terlecehkan.

“Nggak” kali ini nada bicara Rin merendah “sebelum nembak kamu, dia bilang ke Rian,dia udah nggak takut lagi. Bagi dia sekarang,kamu nerima atau nolak dia bukan hal penting lagi, karena yang penting dia udah berani ngungkapin perasaan dia ke kamu, Cuma itu”

“Trus kalo aku gak jawab, gimana?”

“Ya dia tetep sayanglah ke kamu”

“Sampai berapa lama?”

“Dia nggak bilang soal itu. Tapi apa salahnya kalo terima saja? Oliv asik kok. Gak pernah denger gosip buruk tentang dia kan?”

“Iya sih”, jawabku.

“Jadi kalo kamu tanya pendapatku, mending diterima aja. Sama sekali nggak rugi. Malah untung, at least kita bisa double date”.

Zinggg! Double date? Rin gila!!! Apa dipikirnya aku akan tahan melihat tangannya yang selembut beludru berada dalam genggaman Rian? Atau pundaknya direngkuh Rian dalam pelukan? Aku jadi mempertanyakan kewarasanku sendiri yang sudah jatuh cinta pada gadis ‘sesadis’ Rin. Tapi ada suara lain di otakku. Kenapa tidak? Maksudku, soal double date itu. Bukankah selama ini aku merasa kehilangan Rin sejak Rian jadi pacarnya? Bukankah untuk bersama orang yang kita cintai harus ada pengorbanan? Dan terakhir, bukankah tidak ada pengorbanan yang terlalu besar untuk orang yang kita cintai?

Double date, aku mengulang kata itu dalam hati. Apa pengorbananku untuk bisa bersama Rin itu tidak berlebihan? Apalagi sampai menjadikan Oliv yang polos dan baik hati sebagai ‘bemper’. Tapi apa ada solusi selain itu? Apa iya aku harus menantang Rian dan memaksa Rin untuk jadi pacarku, yang resikonya aku akan kehilangan semua yang selama ini telah kumiliki : persahabatan dan kepercayaan Rin.

“Helooo? Am I alone?”” suara Rin menyadarkanku.

“Sorry, sampai dimana tadi? Oya…double date emm…maksudku …eh ..tapi aku nggak punya perasaan seneng ke Oliv, Rin” kataku akhirnya. Yang kusuka hanya kamu, tambahku dalam hati.

“Kamu cuma perlu belajar , Sayang. Eyangku bilang, beliau dulu dijodohin, nggak ada cinta sedikitpun, toh nyatanya lahir Mami dan om-omku”

“Hey! Itu nggak ada hubungannya sama cinta lagi!” protesku. Tapi bukan Rin kalo nggak ngebantah.

“Well, it’s okey. Mungkin pertamanya keterpaksaan aja, tapi kata Eyang, witing tresno jalaran saka kulina, kurang lebih artinya akhirnya cinta juga karena nggak ada yang lain” kata Rin serius yang membuatku jadi nyengir.

“ Baiklah Rin, kalo itu maumu” jawabku pasrah.

“Kok mauku? Aku nggak maksa lho Jay” Rin tersinggung.

“Sorry, maksudku kalo menurutmu baek. Aku percaya kamu. Tapi aku minta kamu janji ke aku satu hal” Rin tertawa.

“hey..bukan aku yang akan kamu pacarin, kok jadi aku yang harus berjanji sih. Tapi oke deh, kamu pengen aku janji apa?”

“Kita harus sering-sering double date”

 

Sudah 4 kali kami double date setelah malam itu. Kadang aku sengaja mesra-mesrain Oliv di depan Rin, ngarep dia cemburu. Alih-alih cemburu, Rin malah menatapku senang dengan pandangan apa-ku-bilang-? Aku tau aku nggak bijaksana saat memutuskan untuk menerima Oliv, tapi aku nggak nyesel karena sekarang aku punya kesempatan untuk bersama Rin bahkan saat dia bersama Rian ,tanpa merasa dikacangin. Mungkin aku masih akan sakit hati berkali-kali nanti setiap melihat Rian begitu bahagia di samping Rin dan Rin yang selalu menatap Rian dengan tatapan memuja. Mungkin juga nanti aku akan melaksanakan kata-kata bijak yang pernah kudengar di sebuah serial TV (Angel? Buffy the Vampire Slayer? Sori,aku lupa) : if you can’t be with someone you love, then love someone you with, soalnya Oliver lumayan asik juga anaknya, meskipun aku masih aja nggak nyaman setiap kali merasakan sikap protektifnya. Terbiasa melindungi Rin, aneh aja rasanya dilindungi. Satu hal yang pasti, aku nggak akan putus asa. Aku yakin suatu saat nanti akan tiba waktuku untuk menyatakan dan mengekspresikan rasa cintaku ke Rin tanpa malu, ragu dan takut. Aku akan sabar menunggu hari itu, hari dimana Tuhan akan menyatukanku dengan orang yang kucintai.

Sementara menunggu tibanya hari itu, selama di sini, di dunia ini,biar saja Rin (cuma) sahabatan sama aku, Jayanti.

 

====demikianlah cerpen ini.